The Edge of Destruction

I recently finished reading an amazing book entitled, Remarkably Bright Creatures. One of the main characters is a Pacific octopus named Marcellus. He’s an intelligent and bored old guy with a…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Are You Ready With All Consequences?

Jonathan Danantya adalah pemilik salah satu perusahaan manufaktur yang bergerak di beberapa bidang. Usia pria itu sudah bergerak mendekati enam puluh tahun, namun tetap tidak menghalanginya untuk tetap aktif bekerja. Meski sudah memiliki Joshua Ranajaya, sulung keluarga yang turut mengurus perusahaan keluarga mereka di tengah-tengah pengembangan start up-nya sendiri, beliau masih bersikukuh mendatangi beberapa rapat penting.

Jonathan adalah pria yang disiplin. Beliau membesarkan anak-anaknya dengan karakter pekerja keras, tidak banyak dimanja walau mereka hidup bergelimang harta. Terbukti tiga anaknya, termasuk Sierra sendiri, berhasil sukses di usia muda tanpa bantuan dari ayahnya.

Jonathan sebenarnya berbeda dengan kakak-kakaknya -tante-tante Sierra yang bawel-. Beliau lebih ramah, lebih terbuk, meski tidak bisa menghilangkan aura mengintimidasinya. Terbukti beliau mau menyediakan waktu untuk bertemu dengan Akasha, yang tak lain akan meminta izin untuk 'mengambil' putrinya.

“Sini, Kash,” kata Sierra sambil melambaikan tangannya, meminta Akasha yang baru naik ke lantai dua. Dia sudah menunggu di depan area outdoor. “Papa di luar, kamu gak apa-apa nemuin beliau sendiri?”

Sierra tadinya ingin menemani Akasha menemui ayahnya, tapi ada banyak pekerjaan yang harus dia urus, dan Akasha sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. “Gak apa-apa. Udah, kamu balik kerja aja sana.”

“Beneran?” tanya Sierra lagi, masih ragu.

Akasha mengangguk-angguk, tersenyum meyakinkan sambil mengusap puncak kepala wanita di depannya. “Iya, cantiikk. Sana, kerja aja lagi yang tenang. Aku mau ngobrol dulu sama Papa, ya?”

Akhirnya wanita itu setuju dan beranjak meninggalkan Akasha. Sebelum keluar, Akasha menghela napas pelan, menenangkan dirinya sendiri. Okay, you can do it, Akasha.

“Om Jo.” Akasha memberikan senyum terbaiknya saat pria itu menoleh. Tak lupa juga mengulurkan tangannya, hendak menyalami Jonathan.

“Heii, Akasha. Apa kabar?” Respons pertama yang Jonathan berikan saat mendapati sosok lelaki itu cukup baik. Sama seperti pertama kali bertemu, pria itu tersenyum lebar, bahkan berdiri dari duduknya untuk menepuk-nepuk pundak Akasha. “Dua tahun kita tidak bertemu. Apa kabar? Kerjaan kamu lancar?”

“Alhamdulillah, lancar, Om,” ujar lelaki itu. Akasha melihat hal ini sebagai awal yang baik. Percakapan mereka segera mengalir mengenai pekerjaan Akasha di London. Perlu dia tegaskan, Jonathan is a typical person who loves a hard worker. Lewat cara Jonathan memandang Akasha dan mengangguk-angguk mendengar cerita lelaki itu, he shows how much he appreciates his achievements. “Kalo Om sendiri bagaimana? Saya lihat sepertinya makin sibuk, ya?”

One thing more, he loves when someone asked about his achievements. “Hahaha, iya. Mamanya Sierra sampai marah-marah karena saya sibuk kerja. Habisnya, kerja itu udah kayak kebiasaan, lho, Kash. Kalo diem aja di rumah, gak ngapa-ngapain, malah rasanya aneh gitu,” jelas pria paruh baya itu.

“Iya, Om. Saya juga. Kalau misalnya libur dan diem aja di apartemen, rasanya malah aneh karena biasanya sibuk ngurusin ini-itu.”

“Tuh, kan. Hahaha.” Jonathan menyesap kopinya sejenak, lalu berkata, “Oh, iya, Kash, katanya kamu mau stay here for good, jadi kerjaan kamu di sana gimana?”

Akasha masih mencoba untuk tersenyum santai. “Alhamdulillah, kerjaan saya bukan yang harus diurus terus di kantor, Om. Saya bisa kerja dari rumah, as long saya masih sanggup bolak-balik London-Jakarta setiap dibutuhin.”

“Oh, gitu.” Pria itu manggut-manggut mengerti. Beberapa saat dia terdiam, keningnya berkerut tanda kalau sedang berpikir, sebelum akhirnya Jonathan berkata, “Oh, iya, saya minta maaf belum bisa menjenguk Mama kamu. Bagaimana keadaannya sekarang?”

“Mama sempat drop lagi kemarin, Om, tapi alhamdulilah sekarang kondisinya sudah stabil. Kami hanya bisa berharap kemoterapi dan pengobatan lain dari ruma sakit bisa mencegah kanker di tubuh Mama menyebar lebih luas.”

Jo kembali mengangguk-anggukan kepalanya sambil menggumamkan kata 'aamiin’ yang samar. Tangannya kembali tergerak meraih cangkir kopi di atas meja, lantas meneguk isinya hingga tandas. Ada jeda hening yang pria itu berikan sebelum kembali mengarahkan pandangannya pada lelaki beralis tebal di depannya. “Kash, umur kamu berapa sekarang?”

Akasha mengangkat kepalanya. “24, Om. Mau 25 bentar lagi.”

“Sama, ya, kayak Sierra. Saya hampir lupa kalian seumuran.” Jonathan terdiam sejenak, membuat Akasha semakin bertanya-tanya. “Usia saya 26 saat memutuskan untuk menikah. Saat itu, saya sudah menyelesaikan pendidikan S2 saya di Columbia, lalu memegang salah satu perusahaan keluarga.”

“Usia Joshua 27 saat menikah. Dia menyelesaikan S2 bisnisnya di Harvard, lalu pulang untuk membangun start up-nya yang sekarang resmi berada di bawah naungan grup perusahaan keluarga, Grayata Group.” Akasha benar-benar terdiam. Dia tahu kemana pembicaraan ini akhirnya mengarah. Terlebih setelah melihat wajah Jonathan yang mulai serius. “Sedangkan Daniel, sedikit lebih lama, dia menikah di usia 28 tahun. Dia terlalu bersemangat dalam sekolah pilotnya, merintis karirnya, terbang sana-sini, sampai akhirnya saat menikah dia berhasil menjadi pilot tetap untuk penerbangan internasional.”

Jonathan menatap lelaki itu, tanpa menghilangkan sorot mata penuh penghargaannya. “Saya tahu apa niat kamu ke sini, Akash, dan saya sangat menghargainya. Saya tahu, sejak dua tahun lalu kamu pertama kali meminta izin untuk menjadi suami Sierra, kamu akan datang lagi, mengucapkan permintaan yang sama, tidak peduli kamu tahu kalau keluarga besar kami akan menolak.”

“Kamu sudah membuktikan kalau kamu layak menjadi pasangan Sierra dengan memenuhi kriteria saya, Kash. Saya juga paham, kalau kamu ingin membahagiakan ibu kamu. Maksudnya, ibu mana yang tidak ingin melihat anaknya menikah? Terlebih, kamu dan Sierra memang sudah lama menjalin hubungan. Sudah delapan tahun, kan?”

Akasha mulai dapat menebak arah pembicaraan sepenuhnya, tapi dia tetap berusaha untuk biasa saja. “Benar, Om …”

“Saya tahu ada baiknya kalian melanjutkan hubungan kalian ke jenjang yang lebih serius. Tapi, Kash, ada beberapa faktor yang harus kalian perhatikan. Masalah umur, kalian terhitung masih muda, masih labil.” Pria itu menghela napas berat. “Kedua, sebenarnya ini masalah internal keluarga saya sendiri, saya akui itu. As you know, it’s kinda cruel but my sisters don’t like an ordinary person’s entering the family. Saya rasa saya tidak perlu menjelaskan resiko apa yang akan kamu terima jika meneruskan hal ini.”

Akasha menahan napas, menunduk menghindari tatapan Jo, yang kini memajukan tubuhnya. “Saya minta maaf, Akasha. I do accept you to be my daughter’s husband. I see how much you love her, i know how good your personality is, but the choice is in your hand. If you want to continue this, are you ready with all consequences?

Jonathan tahu seberapa besar tekad dan cinta yang lelaki ini punya untuk anak perempuan satu-satunya. Sama tahunya ia dengan keluarganya yang terlalu menjunjung tinggi kasta. Pemuda-pemuda lain yang ditawarkan kakak-kakaknya untuk menjadi calon menantunya semua berasal dari keluarga kaya raya beberapa turunan. Mereka semua memang sudah jelas bibit-bebet-bobotnya, bukan modelan pemuda cerdas yang beruntung bisa bekerja menjadi data scientist di London seperti Akasha.

Itu sebabnya, Jonathan memberikan kesempatan pada Akasha untuk memilih. “Saya pernah ada di posisi kamu, Akash. Menikahi mama Sierra yang berasal dari kalangan orang biasa jelas memancing kontroversi di keluarga saya. Tapi situasi itu berbeda, posisinya di sini adalah, maaf, mereka menganggap kamu yang orang biasa. Kamu sudah tahu apa yang mereka pikirkan soal kamu?”

Akasha menenggak ludah, mengangguk pelan. Lelaki itu merapatkan bibirnya, tidak bersuara selama beberapa saat. Sebelum kemudian dia perlahan memberanikan diri mengangkat kepalanya, menatap Jonathan yang sejak tadi menunggu jawabannya. “Saya tahu, kalau keluarga besar Om menganggap saya hanya ingin memanfaatkan Sierra, memanfaatkan kesuksesannya, mengambil apa yang dia punya. Tapi saya berani bersumpah, bukan itu alasan saya ingin menjadikan Sierra istri saya.”

“Dua tahun terakhir ini, sejak lamaran pertama saya ditolak, saya berusaha untuk memantaskan diri saya. Setidaknya sampai saya berhasil memenuhi kriteria yang Om berikan, saya akan melamar Sierra lagi.” Dia berhenti sejenak. “Delapan tahun saya menjalin hubungan dengan Sierra, dan delapan tahun itu pula, sampai kapan pun kalau Om mengizinkan, saya tidak akan pernah berhenti memperjuangkannya. Saya berjanji pada Sierra kalau saya tidak akan menyerah, dan saya tidak akan mengecewakannya. Saya siap dengan segala konsekwensinya. Saya amat mencintai putri, Om. Izinkan saya menjadikannya bagian dari hidup saya, memperjuangkan dan mencintainya setiap waktu.”

Akasha tidak main-main dengan ucapannya. Dia sungguh-sungguh dan pria paruh baya di depannya tahu itu. Kata-kata itu mau tak mau menciptakan lengkungan di wajah Jonathan. “Terima kasih sudah mencintai putri saya sedalam ini, Akash. Hope I can see you again, tonight, in the family’s dinner. You have to meet Joshua and Daniel for their permission too.”

Add a comment

Related posts:

Did Boomers Tell You This? Pregnancy Old Wives Tales That Are Completely False

Pregnancy is a time when many old wives tales and myths come to the forefront. While some of these tales may have some truth to them, others are completely false. Here are 11 pregnancy old wives…

7 strategies to help you stay sober

Once upon a time it was frowned upon not to have a drink. There was something wrong with you or you must be deathly dull not to drink. At the last official count, 21% of UK adults are teetotal. So…

Late 2017 Web Design Trends

As the year is drawing to a close and the summer insanity is giving its place to the melancholy of a pumpkin-spiced autumn, let’s see what the workhorses of the web design industry introduced to the…