O aperto do amigo

Numa das palestras dentro do programa de melhoria continua na empresa, o médico da empresa, Dr. João, resolveu fazer uma campanha sobre a AIDS, pois os mais jovens não estavam acreditando que esta…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Mendidik tanpa Menggurui

Seorang pendidik mengharuskan ia pandai memilih cara yang tepat untuk memberikan materi. Oleh karenanya mendidik adalah pekerjaan yang sangat sulit, tidak semua orang bisa. Memang jumlah guru banyak, namun yang bisa benar-benar mendidik rasanya masih sedikit.

Ada dua cerita menarik yang saya dapatkan tentang bagaimana mendidik yang baik, yakni mendidik tanpa menggurui. Bukan tentang menyampaikan materi pelajaran sekolah/kuliah sebenarnya, melainkan lebih jauh dari itu, yakni tentang pelajaran hidup.

Pertama, cerita dari seorang dosen sosiologi dengan seorang mahasiswanya yang bengal, tidak mau menaati peraturan kampus. Cerita ini saya dapat ketika pembekalan kkn bulan februari tahun lalu.

Seorang mahasiswa datang ke kampus menggunakan sendal jepit. Tentu itu tidak bisa dibenarkan, minimal sudah melanggar azas kepantasan, dan sudah jelas-jelas melanggar aturan kampus. Kemudian sang dosen sosiologi tersebut menegurnya. Tapi malah ditanggapi mahasiswa tersebut dengan seenaknya sendiri. Saya agak lupa ditanggapi bagaimana, namun konteksnya kalau tidak salah ‘Sandal saya masih baru, mahal lagi, sayang kalau tidak dipakai. Apa yang salah, kan kuliah yang digunakan otak, bukan alas kaki. Mengapa dipermasalahkan’. Barangkali seperti ini.

Kemudian pertemuan selanjutnya sang dosen datang memberi kuliah dengan membawa sebungkus soto yang terkenal enak di jogja. Beliau juga membawa pispot urinoir yang baru dibelinya. Tidak jelas memang, tak ada yang bisa menduga apa yang akan dilakukan oleh beliau.

Sebelum perkuliahan dimulai, sang dosen memanggil mahasiswa yang bengal kemarin itu. Memintanya menuangkan soto ke dalam pispot urinoir, kemudian sang dosen memintanya untuk memakan soto tersebut. ‘ini soto paling enak di jogja lho. silakan dimakan.’

Tentu mahasiswa tersebut tidak mau memakannya, wong sotonya diwadahi pispot urinoir. Barangkali merasa jijik ‘pispot ini kan bukan mangkok soto, tidak semestinya soto diwadahi dalam pispot urinoir, kok saya malah diminta memakannya’.

Kemudian sang dosen menambahi ‘pispot urinoir ini masih baru lho. aku membelinya juga yang kualitasnya baik, tentu lebih mahal dibandingkan yang lain. Masa kamu tidak mau memakan soto dari wadah ini. Masih baru dan harganya mahal.’

Ternyata contoh yang diberikan dosen tersebut cukup ampuh membuat mahasiswa tersebut sadar. Metafora yang diberikan sang dosen serasa menampar dirinya. Akhirnya ia malu, mengakui kesalahannya bahwa setiap hal pada dasarnya memiliki tempat masing-masing. Seperti pispot urinoir walaupun masih baru dan mahal bukanlah wadah yang pas untuk soto. Sebagaimana sandal jepit bagus yang masih baru dan mahal bukan atribut yang pas untuk digunakan di kampus.

Kedua, cerita anak-anak di sekolah anak alam (Salam) Yogyakarta. Cerita ini saya dapat dari salah seorang teman saat kami mengobrol santai. Saya pernah datang ke Salam waktu ada tugas psikologi pendidikan, dua tahun lalu. Namun tidak terlalu mendalam mengerti sekolah ini. Teman saya ini bisa dibilang merupakan aktivis pendidikan sekolah alternatif seperti halnya Salam, jadi ia lebih banyak tahu daripada saya.

Semenjak pandemi kita tahu bahwa amat digencarkan untuk mematuhi protokol kesehatan, salah satunya jaga jarak. Namun bukan perkara gampang untuk membuat anak-anak mematuhinya. Sebab anak-anak selalu suka dengan bermain, memerintahkan mereka untuk jaga jarak bukanlah solusi. Apa serunya bermain kalau berjauh-jauhan?

Bermain sepakbola adalah salah satu permainan yang amat disenangi anak-anak itu. Terlebih di sekolah itu ada halaman yang cukup untuk digunakan bermain bola. Dibilangin kayak apapun kalau tempat bermain bola masih ada, anak-anak akan tetap bermain bola. Dan itu artinya jaga jarak adalah hal yang sulit dilakukan.

Kemudian pengurus sekolah akhirnya membuat program tanam-menanam. Halaman sekolah itu adalah tempatnya. Program menanam itu menjadikan halaman sekolah dipenuhi oleh tanaman, menjadikan tak ada lagi ruang untuk bermain bola. Tanpa menyuruh, cara ini cukup ampuh membuat anak-anak tidak bermain bola lagi. Lah iya kalau main gimana caranya woi, wong lapangannya dipenuhi tanaman. Hahaha

Dari dua cerita diatas dapat memberi gambaran bahwa mendidik beragam caranya. Bagi seorang yang sudah mampu berpikir kritis, menggunakan metafora / perumpamaan ternyata cukup ampuh membuatnya tersadar. Bagi anak-anak yang inginnya bermain, bersenang-senang, menasehati bukan cara yang tepat. Memberikan kegiatan lain yang menarik dan menutup ruang-ruang yang berpotensi melanggar protokol kesehatan adalah cara yang sejauh ini efektif dibandingkan menasehati.

Add a comment

Related posts:

Atomic Blonde

Atomic Blonde came and went in August, proving a moderate late-summer success (albeit one set in cold, late autumn), but it’s worth a revisit. Comparisons thrown about at the time include Jason…

CyberSecurity CheckList for an association

Accomplishing powerful network safety doesn’t need to be a long and costly cycle. There are numerous basic controls you can execute to support your guards. The more you know, the more ready you are…

How will GDPR affect Finance Companies and How to Be Ready?

Data breaches and identity theft which have become very important in recent years, did not mean much before smartphones; for years when the phone was just used to call and message. Bank transactions…